“Saya akan memberikan yang terbaik untuk binaan, berusaha
memberikan apa yang mereka butuhkan, dan saya tidak ingin mereka
merasakan apa yang dulu pernah saya rasakan.”
Kekecewaan pasti pernah dirasakan oleh semua dari kita ketika tidak
menemukan keidealan atau tidak mendapatkan apa yang kita inginkan dalam
proses halaqoh terlebih ketika kita merasakan murabbi kita memiliki
banyak kekurangan.
Murabbi, seperti yang kita ketahui adalah sosok yang seharusnya
selalu menjadi teladan bagi orang lain terkhusus bagi mutarabbinya,
walaupun kita tahu setiap manusia pastinya juga tidak luput dari sebuah
kesalahan dan memiliki banyak kekurangan, tetapi ternyata itu tidak bisa
dijadikan alasan pembenaran ketika kita -sebagai murabbi- melakukan
kesalahan. Sehingga muncullah ungkapan
“murabbi kan juga manusia”. Tidak
salah memang dengan ungkapan ini, tapi sadarkah kita, sosok murabbi
adalah seorang yang seharusnya disegani oleh mutarabbi dan dikenal baik
akhlaknya oleh orang lain. Oleh karena itu, berusaha meminimalisir
kesalahan yang kita perbuat, menutup aib sendiri, memperbaiki diri
adalah menu wajib yang harus selalu dilakukan oleh seorang yang sudah
menjadi murabbi, walaupun sebenarnya semua orang muslim juga memiliki
kewajiban yang sama.
Bagaimana sosok murabbi ideal bagi mutarabbinya?
Murabbi ideal adalah murabbi yang menjadi teladan bagi mutarabbinya
dalam segala hal. Terlalu idealis memang, tetapi itulah yang harus
senantiasa kita yakinkan pada diri kita seorang murabbi sebagai motivasi
untuk selalu memperbaiki diri, meng
upgrade pemahaman, dan seimbang antara kata-kata dan perbuatan. Mutarabbi adalah
product murabbi,
sehingga bagus tidaknya hasil akhir mutarabbi, murabbi memiliki andil
yang cukup besar. Dalam proses halaqoh pun bukan hanya materi yang
ditansfer, melainkan karakter, akhlak, dan fikroh. Tidak heran, ketika
mutarabbi melakukan kesalahan, maka yang dicari atau di
tabayyun adalah murabbinya.
Pernyataan pertama yang saya tulis diatas awalnya adalah bentuk
kompensasi dari kekecewaan saya setelah enam tahun halaqoh, namun tidak
pernah menemukan keidealan dari sosok murabbi. Dan ketika seiring
duduknya pemahaman mengenai perjalanan tarbiyah, kekecewaan itu
tergantikan dengan sebuah azam bahwa
“Kelak ketika saya menjadi
seorang murobbi, saya akan memberikan yang terbaik untuk binaan,
berusaha memberikan apa yang mereka butuhkan, dan saya tidak ingin
mereka merasakan apa yang dulu pernah saya rasakan.” -Mengelola kekecewaan dengan lebih positif-
Menjadi mutarabbi adalah pengalaman atau guru yang sangat berharga
untuk memperbaiki pencitraan seorang sosok murabbi dihadapan mutarabbi.
Murabbi ideal adalah murabbi yang menjadi teladan bagi mutarabbi,
merasa nyaman ketika berada di dekatnya, menjadi orang kepercayaan untuk
menyelesaikan masalah-masalah mutarabbi atau minimal bisa menjadi
pendengar yang baik. Murabbi yang memiliki sepuluh karakteristik muslim
ideal, minimal 50% kita miliki. Seseorang yang bisa memerankan empat
peran sekaligus dalam kondisi yang berbeda, yaitu sebagai walid (orang
tua) dalam hubungan emosional, sebagai syaikh ( kakak/ abang spiritual)
dalam ruhiyah, sebagai ustadz/ ustadzah (guru) dalam mengajarkan ilmu,
dan sebagai qoid (pemimpin) dalam kebijakan umum dakwah.
Jadilah murobbi ideal bagi mutarobbimu, dan cukup Allah saja yang tahu keburukan kita..
“Pungut hikmah yang berserakan”
Sebuah kalimat yang memiliki makna mendalam. Dari manapun datangnya
pungutlah ia menjadi bahan bakar untuk bergerak dan evaluasi dari segala
sesuatu yang terjadi karena tidak ada yang diciptakan Allah dengan
sia-sia. Yakinlah..
Mari maknai segala kekecewaan dengan lebih positif. Karena mungkin,
bisa jadi ketika kita kecewa dengan orang lain, namun ternyata kita
justru lebih banyak memberikan kekecewaan pada orang lain. Percaya atau
tidak, hukum timbal balik tetap berlaku. Di jalan dakwah ini, aktivitas
apa yang paling menyenangkan menurutmu? Kalau saya, dengan yakin akan
menjawab : membina!
Kenapa justru membina? Pekerjaan yang menurut sebagian orang sungguh
melelahkan. Melelahkan karena untuk apa kita terlalu pusing memikirkan
orang lain, sedangkan kita masih punya urusan pribadi yang harus
diselesaikan, atau kita punya impian yang harus kita wujudkan segera
satu persatu dengan hanya fokus bergerak untuk diri sendiri. Lelah
karena terkadang kemampuan, tenaga, waktu, dan uang yang sudah kita
keluarkan justru terasa sia-sia, tidak ada hasilnya. Ya, lelah sekali,
Lelah karena terkadang kebaikan dan perhatian kita tidak terbalas.
Itukah yang kita rasakan kawan?
Jika itu alasan enggan untuk membina, hhmm gak keren banget deh. Jadi, kuatkan keyakinan, tetaplah tersenyum dan katakan
Alhamdulillah karena
ternyata kita berbeda, ternyata kita luarbiasa, ternyata Allah ingin
kita memaknai keikhlasan lebih mendalam. Kenapa seperti itu? Ya, karena
itu adalah bentuk tarbiyah Allah untuk kita, orang-orang terpilih.
Bersyukurlah.
Membina dengan hati artinya mengenal keunikan karakter orang lain,
dan itu sangat menyenangkan. Walaupun tidak bisa dipungkiri pastinya
kita akan menemukan orang-orang yang terus menguji kesabaran kita. Mulai
dari yang
nyebelin, ngeselin, bikin gondok, galau, BT, sakit hati.
Tenang sob,
Everything’s gonna be okey. Mereka tetap punya
hati yang terbuat dari gumpalan darah koq, sama seperti kita. Selama
bukan batu, masih bisa dilunakkan, hanya terkadang kita sering salah,
kita terlalu cepat men
judge hati mereka seperti batu yang sulit
ditembus. Mungkin, mungkin, dan mungkin.. ternyata selama ini cara kita
yang salah. Introspeksi yuk!
Kalaulah boleh memilah dan memilih aktivitas dakwah, cukup membina
saja sudah pilihan mutlak tanpa harus terjun secara teknis
mengangkatkan
event, dan lain-lain yang melelahkan bahkan
terkadang merasa lebih banyak dosanya karena sering su’udzon, kecewa,
kesal, marah, gondok, galau, merasakan amal jama’i yang tidak ideal. Iya
kan?
Tapi yakinlah kawan, Allah tidak pernah menciptakan sesuatu dengan
sia-sia, sekali lagi itulah bentuk Tarbiyah Allah kepada kita, karena
seharusnya setiap hari kita belajar dari masalah. Masalah lah yang telah
mendewasakan kita, dari masalah kita belajar membentuk kepribadian kita
sesuai dengan keinginan kita dan ini tergantung cara kita dalam
menyikapi masalah. Semua keadaan yang kita alami kita maknai sebagai
bentuk pembelajaran menuju kematangan berfikir dan gali terus nilai
positifnya.
Membina dengan Hati
Karena hati hanya bisa disentuh dengan hati juga. – segala sesuatu
yang disampaikan dari hati akan sampai juga ke hati-. Pendekatan
emosional itu yang paling efektif, bukankah itu yang Rasulullah
contohkan. –sudah khatam Shirah Nabawiyah pastinya kan??

buku wajib pertama bagi yang mengaku jundullah-
Perlakukan mereka sesuai karakter masing-masing dan tingkat
pemahamannya, berilah sesuatu yang bisa diberi, lalu ikat hatinya dengan
senyuman termanismu.. –hanya untuk yang mahram ya-
Membina dengan hati artinya mencintai dengan sepenuh hati, karena di jalan ini kita harus siap dibina dan membina
Oleh : Vivi Rahmawati
0 komentar:
Posting Komentar